Jumat, 10 Mei 2013

dasar nu



Paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut NU
Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.
Menurut Syaikh Abdul Qodir al-Jilani “Yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasûlullâh SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-Jamâ‘ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah SWT memberi rahmat pada mereka semua)”.(Al-Ghunyah li Thâlibî Tharîq al-Haqq, Juz I, hal 80)
Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya.
KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jami’yyah Nahdlah al-‘Ulamâ’. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :
(1) risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan
(2) keharusan mengikuti mazhab empat,(13 karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).
Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. M. Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu al-Baqa’ dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara’, ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-Murîd, menurut syara’, ‘bid’ah’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.
Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy’ari melakukan serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti’i dalam risalahnya Tathîr al-Fu’âd min Danas al-’Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy’ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.
Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimaknai dalam dua pengertian.
Pertama, Ahlussunah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi’in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama’ah adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy’ari dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf .
Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: “Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk” (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ’ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: “Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk”. (HR. al-Baihaqi). Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para tabi’in (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabi’it-tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibn ‘Ady) (18 . Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jama’ah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya. Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam.(19 Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama’ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jama’ah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf.
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jama’ah.
Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal Jama’ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.
Bagi NU, landasan Islam adalah al-Qur’an, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah al-khulafâ’ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimengerti sebagai ‘para pengikut sunnah Nabi dan ijma’ para ulama’. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang dianut NU, : pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Qur’an dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy. Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam. Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
PRINSIP DASAR ASWAJA
التوسط (At-Tawassuth (sikap tengah, sedang-sedang. Firman Allah SWT

143. Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
[95] umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, Karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.
التوازن (At-Tawazun( keseimbangan. Allah SWT

25. Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Tasamuh
yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah , sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (ukhuwwah islâmiyyah).
Dalam diskursus sosial-budaya, Ahlussunnah wal Jama’ah banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam tradisi kaum Sunni terkesan hadirnya wajah kultur Syi’ah atau bahkan Hinduisme.
Sikap toleran Ahlussunnah wal Jama’ah yang demikian telah memberikan makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan secara lebih luas. Hal ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah dunia. Pluralistiknya pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah keniscayaan dan ini akan mengantarkannya kepada visi kehidupan dunia yang rahmat di bawah prinsip ketuhanan
الإعتدال (Al-I’tidal (Tegak lurus. Allah SWT
­
8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
NAHDLATUL ULAMA
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
1. Sejarah
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
2. Paham keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi’i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
3. Daftar pimpinan
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
No Nama Awal Jabatan Akhir Jabatan
1 KH Mohammad Hasyim Asy’arie 1926 1947
2 KH Abdul Wahab Chasbullah 1947 1971
3 KH Bisri Syansuri 1972 1980
4 KH Muhammad Ali Maksum 1980 1984
5 KH Achmad Muhammad Hasan Siddiq 1984 1991
KH Ali Yafie (pjs) 1991 1992
6 KH Mohammad Ilyas Ruhiat 1992 1999
7 KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz 1999 2004
8 Prof Dr KH Said Agil Siradj 2004 sekarang
4. Basis pendukung
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
5. Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama’ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Usaha
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
7. Struktur
Pengurus Besar (tingkat Pusat)
Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
Mustayar (Penasihat)
Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
Tanfidziyah (Pelaksana harian)
8. Jaringan
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
33 Wilayah
439 Cabang
15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
47.125 Ranting

Jumat, 05 April 2013

sejarah sunan kalijaga



I. Pendahuluan
Islam dalam penyebarannya ke Indonesia khususnya ke Jawa, tidak begitu saja, tetapi ini melalui jalan-jalan yang sangat sulit sekali. Para wali khususnya Sunan Kalijaga menempuh jalan memasukkan ajaran Islam kepada rakyat di tanah Jawa antara lain:
a. Ajaran agama itu diperkenalkan kepada rakyat dengan cara memasukkan sedikit-demi sedikit, agar masyarakat tidak kaget atau tidak menolak.
b. Mengawinkan ajaran-ajaran agama Islam dengan kepercayaan Hindu Budha
Disamping kedua cara tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi hal-hal atau pun cara-cara yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga.
Untuk lebih jelas mengenai cara-cara atau pun hal-hal yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam, saya akan mencoba untuk mengupasnya lebih dalam.


II. Pembahasan
A. Sejarah Kehidupan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1455.[1] Beliau diberi nama Raden Mas Said atau yang bergelar “Sunan Kalijaga” yang merupakan putra dari Ki Tumenggung Wilatikta yaitu Bupati Tuban. Dan ada pula yang mengatakan bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sahur Tumenggung Wilatikta. Selain mempunyai anak Sunan Kalijaga, beliau juga mempunyai putri yang bernama Dewi Roso Wulan.
Saat Sunan Kalijaga masih kecil, beliau sudah merasakan dan melihat lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada ayahnya mengenai hal tersebut, yang dijawab oleh ayahnya bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 kali ditangannya dan disekap beberapa hari oleh ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia di usir oleh ayahnya dari Kadipaten. Akhirnya ia pun pergi, tinggal di hutan Jadiwangi dan menjadi perampok orang-orang kaya dan berjuluk Brandal Lokajaya. Selain gelar tersebut sebenarnya Sunan Kalijaga juga mempunyai nama-nama lain seperti R. Abdurrahman, Syeh Malaya, Pangeran Tuban serta Jogoboyo.[2]
Pada suatu hari di dalam hutan Jadiwangi itu Sunan Bonang sedang lewat, kemudian ia dihadang dan hendak dirampok. Sunan Bonang berkata pada Sunan Kalijaga, “kelak, kalau ada orang lewat disini, memakai pakaian serba hitam, serta berselendang bunga wora-wari merah, ini sebaiknya rampoklah”. Raden Said menuruti, Sunan Bonang dibebaskan. Kira-kira tiga hari kemudian orang yang ditunggu-tunggu lewat di tempat itu. Raden Said siap menghadang orang itu. Pakaiannya serba hitam, berselendang bunga wora-wari merah. Setelah dihentikan oleh Raden Said, Sunan Bonang berubah menjadi empat. Raden Said ketakutan melihat kejadian itu dan berjanji pada Sunan Bonang untuk mengakhiri perbuatan nistanya itu. Kemudian ia bertapa dua tahun, karena beliau taat pada Sunan Bonang. Setelah bertapa Raden Said pindah ke Cirebon. Disitu beliau bertapa lagi di pinggir kali, bernama Kalijaga. Dari sinilah sejarahnya kenapa beliau bergelar “Sunan Kalijaga”. Lama kelamaan kemudian beliau diambil ipar oleh Sunan Gunung Jati.[3]
Beliau menikah dengan dewi Sarokah dan mempunyai 5 (lima) anak, yaitu:
1. Kanjeng Ratu Pembayun yang menjadi istri Raden Trenggono (Demak)
2. Nyai Ageng Penenggak yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar
3. Sunan Hadi (yang menjadi panembahan kali) menggantikan Sunan Kaijaga sebagai kepala Perdikan Kadilangu.
4. Raden Abdurrahman
5. Nyai Ageng Ngerang.
Dalam suatu cerita dikatakan bahwa Sunan Kalijaga pernah juga menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga mempunyai tiga orang putra, masing-masing ialah:
1. Raden Umar Said (Sunan Muria)
2. Dewi Ruqoyah
3. Dewi Sofiyah[4]
Nama Kalijaga menurut setengah riwayat, dikatakan berasal dari rangkaian bahasa Arab “Qadli Zaka”, Qadli artinya pelaksana, penghulu: sedangkan Zaka artinya membersihkan. Jadi Qadlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya adalah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian, ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1479), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga kerajaan panjang yang lahir pada 1541 serta awal kehadiran kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.[5]
Pada umumnya para Walisongo namanya menjadi terkenal dengan tempat dimana wali itu dimakamkan. Tidak demikian halnya dengan Sunan Kalijaga yang makamnya berada di Kadilangu, tetapi namanya tetap terkenal dengan sebutan “Sunan Kalijaga”.[6]
B. Peran Sunan Kalijaga dalam Penyebaran Islam
Pada saat giat-giatnya para Walisongo berjuang menyiarkan agama Islam, maka Sunan Kalijaga yang termasuk di dalamnya tidak ketinggalan untuk bangkit memperjuangkan syiar dan tegaknya agama Islam, khususnya di tanah Jawa. Beliau termasuk kalangan mereka para wali yang masih muda, tetapi mempunyai kemampuan yang luar biasa, baik kecerdasan dan ilmu-ilmu yang dimiliki, maupun kondisi umur dan tenaga yang masih muda bila dibandingkan dengan yang lainnya.
Ternyata Sunan Kalijaga di dalam gerak perjuangannya tidak lepas dari penugasan khusus dan bimbingan yang diberikan oleh para sesepuh Walisongo, misalnya bimbingan yang diberikan oleh Sunan Ampel dan Sunan Bonang disamping dari pihak kesultanan Patah di daerah-daerah yang rawan tata krama, rawan tata susila dan masih kuat dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan agama Hindu dan Budha serta masih melakukan kebiasaan-kebiasaan warisan nenek moyang mereka. Karena itu Sunan Kalijaga benar-benar membanting tulang tidak hanya melakukan dakwah di suatu daerah saja, melainkan hilir mudik, keluar masuk hutan dan pegunungan, siang malam terus melakukan tugas itu. Beliau terus keliling dari daerah satu ke daerah yang lainnya, sehingga terkenal sebagai “muballigh keliling”[7] atau Da’i keliling, ulama besar, seorang wali yang memiliki karisma tersendiri diantara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Ia di sebagian tempat juga dikenal bernama “Syeh Malaya”.
Ia dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya : pengenalan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat / kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami), menciptakan baju taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan Dandanggulo dan Dandanggula Semarangan, menciptakan lagu lir-ilir yang sampai saat ini masih akrab di kalangan sebagian besar orang Jawa, pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di masjid guna mengerjakan shalat berjamaah, acara ritual berupa gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh atau pengajian akbar yang diselenggarakan di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi, menciptakan Gong sekaten bernama asli Gang Syahadatain (dua kalimah syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakna bahwa “mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam”, pencipta wayang kulit di atas kulit kambing, sebagai dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar), wayang kulit dengan beberapa cerita yang ia senangi yaitu antara lain jimat kalimasada dan dewa ruci serta petruk jadi raja dan wahyu widayat, serta sebagai ahli kata-kata seperti misalnya pengaturan istana atau kabupaten dengan alun-alun serta pohon beringin dan masjid.[8]
Diantara para wali sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi, daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (“reizendle mubaligh”). Jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan sarjana.
Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. Karena caranya beliau menyiarkan agama Islam yang disesuaikan dengan aliran zaman Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam semasa hidupnya, Sunan Kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani, beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan.
Dalam cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an, hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, atau dengan kata lain, masyarakat masih memegang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam asimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengembangkan agama Islam disini.
Sedang menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudah konferensi besar para wali, di serambi masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (bahasa Jawa : terbangan) menurut seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam pikiran masyarakat Jawa. Maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan di atas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasi beraneka macam bunga-bungaan yang indah, gapura masjid pun dihiasi pula, sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung di sana.
Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya, uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertarik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang di tabuh, artinya dibunyikan itu dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid. Akan tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di kolam masjid melalui pintu gapura. Upacara yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura (dari bahasa Arab Ghapura), maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik” berbasis salaf bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal, ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika di serang pendiriannya. Maka harus didekati secara bertahap; mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.[9]
C. Jasa-jasa Sunan Kalijaga
1. Bidang strategi perjuangan
Seperti diketahui, Walisongo di dalam menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa ini tidak begitu saja melangkah, melainkan mereka menggunakan cara-cara dan jalan (taktik dan strategi) yang diperhitungkan benar-benar, memakai pertimbangan-pertimbangan yang masak, tidak ngawur sehingga agama Islam disampaikan kepada rakyat dapat diterima dengan mudah dan penuh kesadaran, bukan karena terpaksa.
Sunan Kalijaga di dalam menyebarkan ajaran Islam benar-benar memahami dan mengetahui keadaan rakyat yang masih tebal dipengaruhi kepercayaan agama Hindu Budha dan gemar menampilkan budaya-budaya Jawa yang berbau kepercayaannya itu, maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang demikian itu, sehingga taktik dan strategi perjuangan beliau disesuaikan pula dengan keadaan, ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama Syiwa Budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali apabila dalam mengembangkan agama Islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana dan melalui jalan pendekatan yang mudah ditempuh. Para wali termasuk Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali dengan kesenian dan kebudayaan mereka, misalnya gemar terhadap gamelan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa Budha.
2. Bidang kesenian
Sunan Kalijaga ternyata mampu menciptakan kesenian dengan berbagai bentuknya. Maksud utama kesenian itu diciptakan adalah sebagai alat dalam bertabligh mengelilingi berbagai daerah, ternyata malah mempunyai nilai yang berharga bagi bangsa Indonesia.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit), seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh Sunan Kalijaga (periode Demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam, sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti, di dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata “quu” dan “qilla” atau “quuqilla” yang artinya “peliharalah ucapan (mulut) mu”.[10]
Di lain pihak Sunan Kalijaga juga menciptakan karangan cerita-cerita pewayangan yang kemudian dikumpulkan dalam kitab-kitab cerita wayang yang sampai sekarang masih ada. Cerita-cerita itu masih berbentuk cerita menurut kepercayaan Jawa dengan corak kehidupannya yang ada, tetapi sudah dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak mungkin.
Cara itu dilakukan oleh Sunan Kalijaga karena adanya pertimbangan, bahwa rakyat pada saat itu masih tebal kepercayaan Hindu dan Budhanya.
3. Bidang lain-lain
Selain jasa-jasa beliau di atas tadi, masih ada jasanya yang lain seperti pendirian Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan ikut serta membangun masjid bersejarah itu. Malah ada hasil karya beliau yang sangat terkenal sampai sekarang, yaitu “Soko Total” artinya tiang pokok dalam masjid Agung Demak yang terbuat dari potongan-potongan kayu jati, lalu disatukan dalam bentuk tiang buat berdiameter kurang lebih 70 cm. ini yang membuat adalah Sunan Kalijaga.[11]
D. Peninggalan-peninggalan Sunan Kalijaga
1. Masjid Sunan Kalijaga
Di Cirebon tepatnya di desa Kalijaga telah terdapat sebuah masjid kuno, letaknya bersebelahan dengan petilasan pertapaan Sunan Kalijaga. Masjid ini oleh masyarakat Cirebon khususnya dikenal dengan nama Masjid Sunan Kalijaga.
Masjid ini tampak kelihatan angker dari luar, mungkin karena letaknya yang berada di tengah-tengah hutan yang penuh dengan ratusan binatang “kera”. Di sekeliling masjid tersebut hanya ada penduduk yang jumlahnya sedikit, jurang lebih terdiri dari sembilan rumah. Masjid ini tampak kurang berfungsi, baik untuk berjamaah shalat lima waktu maupun sebagai tempat atau pusat kegiatan penyiaran agama Islam.
2. Masjid Kadilangu
Sewaktu Sunan Kalijaga masih hidup, masjid Kadilangu itu masih berupa surau kecil. Setelah Sunan Kalijaga wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Sunan Hadi (putra ketiga) surau tersebut disempurnakan bangunannya sehingga berupa masjid seperti yang kita lihat sekarang ini.
Disebutkan di sebuah prasasti yang terdapat di pintu masjid sebelah dalam yang berbunyi “menika tiki mongso ngadekipun asjid ngadilangu hing dino ahad wage tanggal 16 sasi dzulhijjah tahun tarikh jawi 1456”, (ini waktunya berdiri masjid Kadilangu pada hari ahad wage tanggal 16 bulan dzulhijjah tahun tarikh Jawa 1456). Tulisan aslinya bertulisan huruf Arab. Menurut tutur rakyat Kadilangu masjid itu beberapa kali mengalami perbaikan di sana sini, sehingga banyak bagian bangunannya yang sudah tidak asli, terutama bagian luarnya.
3. Keris Kyai Clubuk
4. Keris Kyai Syir’an
5. Kotang Ontokusumo
Menurut beberapa cerita rakyat menyatakan bahwa dahulu waktu para Walisongo sudah selesai menunaikan shalat subuh di masjid Agung Demak, tiba-tiba terlihatlah ada sebuah bungkusan yang terletak di depan mikhrab. Maka oleh Sunan Bonang diminta supaya Sunan Kalijaga mengambil dan memeriksanya. Ternyata bungkusan tersebut berisi “baju” (kutang), dan secarik kertas yang menerangkan baju itu adalah anugerah dari Nabi Muhammad Saw, dan menerangkan supaya kulit kambing yang terdapat juga dalam bungkusan itu dibuat baju juga. Menurut cerita kedua baju itu sampai sekarang masih terawat baik, yang pertama “baju ontokusumo” yang disimpan di musium kraton Solo dan “baju kyai Gondil” ada dalam makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.[12]


III. DAFTAR PUSTAKA
Drs. Purwadi, dkk., Babad Tanah Jawi, Yogyakarta: Gelombang Pasang Surut, 2005.
Drs. H. Imron Abu Amar, Sunan Kalijaga Kadilangu Demak, Kudus: Menara Kudus, 1992.
http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm/


[1] Tentang tahun kelahiran Sunan Kalijaga (+ 1455 M) diambil dari cerita juru kunci makam Sunan kalijaga yang sekarang (keturunan Sunan Kalijaga yang ke XIV).
[2] http://www.syariah.com/walisongo.html
[3] Dr. Purwadi, dkk., Babad Tanah Jawi, Yogyakarta: Gelombang Pasang Surut, 2005, hlm. 39-41.
[4] Drs. H. Imron Abu Amar, Sunan Kalijaga Kadilangu Demak, Kudus: Menara Kudus, 1992, hlm. 10.
[5] http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm
[6] Menurut R. Prayitno, juru kunci makam Sunan Kalijaga sekarang, Sunan Kalijaga wafat kira-kira + tahun 1586. Berarti kalau dihitung-hitung umur Sunan Kalijaga + 131 tahun lamanya.
[7] Drs. H. Imran Abu Amar, op.cit., hlm. 13.
[8] http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Drs. H. Imran Abu Amar, op.cit., hlm. 17-20.
[12] Ibid., hlm. 21-26.