Jumat, 05 April 2013

sejarah sunan kalijaga



I. Pendahuluan
Islam dalam penyebarannya ke Indonesia khususnya ke Jawa, tidak begitu saja, tetapi ini melalui jalan-jalan yang sangat sulit sekali. Para wali khususnya Sunan Kalijaga menempuh jalan memasukkan ajaran Islam kepada rakyat di tanah Jawa antara lain:
a. Ajaran agama itu diperkenalkan kepada rakyat dengan cara memasukkan sedikit-demi sedikit, agar masyarakat tidak kaget atau tidak menolak.
b. Mengawinkan ajaran-ajaran agama Islam dengan kepercayaan Hindu Budha
Disamping kedua cara tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi hal-hal atau pun cara-cara yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga.
Untuk lebih jelas mengenai cara-cara atau pun hal-hal yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam, saya akan mencoba untuk mengupasnya lebih dalam.


II. Pembahasan
A. Sejarah Kehidupan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1455.[1] Beliau diberi nama Raden Mas Said atau yang bergelar “Sunan Kalijaga” yang merupakan putra dari Ki Tumenggung Wilatikta yaitu Bupati Tuban. Dan ada pula yang mengatakan bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sahur Tumenggung Wilatikta. Selain mempunyai anak Sunan Kalijaga, beliau juga mempunyai putri yang bernama Dewi Roso Wulan.
Saat Sunan Kalijaga masih kecil, beliau sudah merasakan dan melihat lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada ayahnya mengenai hal tersebut, yang dijawab oleh ayahnya bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 kali ditangannya dan disekap beberapa hari oleh ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia di usir oleh ayahnya dari Kadipaten. Akhirnya ia pun pergi, tinggal di hutan Jadiwangi dan menjadi perampok orang-orang kaya dan berjuluk Brandal Lokajaya. Selain gelar tersebut sebenarnya Sunan Kalijaga juga mempunyai nama-nama lain seperti R. Abdurrahman, Syeh Malaya, Pangeran Tuban serta Jogoboyo.[2]
Pada suatu hari di dalam hutan Jadiwangi itu Sunan Bonang sedang lewat, kemudian ia dihadang dan hendak dirampok. Sunan Bonang berkata pada Sunan Kalijaga, “kelak, kalau ada orang lewat disini, memakai pakaian serba hitam, serta berselendang bunga wora-wari merah, ini sebaiknya rampoklah”. Raden Said menuruti, Sunan Bonang dibebaskan. Kira-kira tiga hari kemudian orang yang ditunggu-tunggu lewat di tempat itu. Raden Said siap menghadang orang itu. Pakaiannya serba hitam, berselendang bunga wora-wari merah. Setelah dihentikan oleh Raden Said, Sunan Bonang berubah menjadi empat. Raden Said ketakutan melihat kejadian itu dan berjanji pada Sunan Bonang untuk mengakhiri perbuatan nistanya itu. Kemudian ia bertapa dua tahun, karena beliau taat pada Sunan Bonang. Setelah bertapa Raden Said pindah ke Cirebon. Disitu beliau bertapa lagi di pinggir kali, bernama Kalijaga. Dari sinilah sejarahnya kenapa beliau bergelar “Sunan Kalijaga”. Lama kelamaan kemudian beliau diambil ipar oleh Sunan Gunung Jati.[3]
Beliau menikah dengan dewi Sarokah dan mempunyai 5 (lima) anak, yaitu:
1. Kanjeng Ratu Pembayun yang menjadi istri Raden Trenggono (Demak)
2. Nyai Ageng Penenggak yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar
3. Sunan Hadi (yang menjadi panembahan kali) menggantikan Sunan Kaijaga sebagai kepala Perdikan Kadilangu.
4. Raden Abdurrahman
5. Nyai Ageng Ngerang.
Dalam suatu cerita dikatakan bahwa Sunan Kalijaga pernah juga menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga mempunyai tiga orang putra, masing-masing ialah:
1. Raden Umar Said (Sunan Muria)
2. Dewi Ruqoyah
3. Dewi Sofiyah[4]
Nama Kalijaga menurut setengah riwayat, dikatakan berasal dari rangkaian bahasa Arab “Qadli Zaka”, Qadli artinya pelaksana, penghulu: sedangkan Zaka artinya membersihkan. Jadi Qadlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi Kalijaga itu artinya adalah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian, ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1479), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga kerajaan panjang yang lahir pada 1541 serta awal kehadiran kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.[5]
Pada umumnya para Walisongo namanya menjadi terkenal dengan tempat dimana wali itu dimakamkan. Tidak demikian halnya dengan Sunan Kalijaga yang makamnya berada di Kadilangu, tetapi namanya tetap terkenal dengan sebutan “Sunan Kalijaga”.[6]
B. Peran Sunan Kalijaga dalam Penyebaran Islam
Pada saat giat-giatnya para Walisongo berjuang menyiarkan agama Islam, maka Sunan Kalijaga yang termasuk di dalamnya tidak ketinggalan untuk bangkit memperjuangkan syiar dan tegaknya agama Islam, khususnya di tanah Jawa. Beliau termasuk kalangan mereka para wali yang masih muda, tetapi mempunyai kemampuan yang luar biasa, baik kecerdasan dan ilmu-ilmu yang dimiliki, maupun kondisi umur dan tenaga yang masih muda bila dibandingkan dengan yang lainnya.
Ternyata Sunan Kalijaga di dalam gerak perjuangannya tidak lepas dari penugasan khusus dan bimbingan yang diberikan oleh para sesepuh Walisongo, misalnya bimbingan yang diberikan oleh Sunan Ampel dan Sunan Bonang disamping dari pihak kesultanan Patah di daerah-daerah yang rawan tata krama, rawan tata susila dan masih kuat dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan agama Hindu dan Budha serta masih melakukan kebiasaan-kebiasaan warisan nenek moyang mereka. Karena itu Sunan Kalijaga benar-benar membanting tulang tidak hanya melakukan dakwah di suatu daerah saja, melainkan hilir mudik, keluar masuk hutan dan pegunungan, siang malam terus melakukan tugas itu. Beliau terus keliling dari daerah satu ke daerah yang lainnya, sehingga terkenal sebagai “muballigh keliling”[7] atau Da’i keliling, ulama besar, seorang wali yang memiliki karisma tersendiri diantara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Ia di sebagian tempat juga dikenal bernama “Syeh Malaya”.
Ia dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya : pengenalan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat / kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami), menciptakan baju taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan Dandanggulo dan Dandanggula Semarangan, menciptakan lagu lir-ilir yang sampai saat ini masih akrab di kalangan sebagian besar orang Jawa, pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di masjid guna mengerjakan shalat berjamaah, acara ritual berupa gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh atau pengajian akbar yang diselenggarakan di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi, menciptakan Gong sekaten bernama asli Gang Syahadatain (dua kalimah syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakna bahwa “mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam”, pencipta wayang kulit di atas kulit kambing, sebagai dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar), wayang kulit dengan beberapa cerita yang ia senangi yaitu antara lain jimat kalimasada dan dewa ruci serta petruk jadi raja dan wahyu widayat, serta sebagai ahli kata-kata seperti misalnya pengaturan istana atau kabupaten dengan alun-alun serta pohon beringin dan masjid.[8]
Diantara para wali sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi, daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (“reizendle mubaligh”). Jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan sarjana.
Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau. Karena caranya beliau menyiarkan agama Islam yang disesuaikan dengan aliran zaman Sunan Kalijaga adalah seorang wali yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta berperasaan dalam semasa hidupnya, Sunan Kalijaga terhitung seorang wali yang ternama serta disegani, beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam dengan lain perkataan.
Dalam cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an, hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, atau dengan kata lain, masyarakat masih memegang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam asimilasi kebudayaan, jalan dan cara mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengembangkan agama Islam disini.
Sedang menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudah konferensi besar para wali, di serambi masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (bahasa Jawa : terbangan) menurut seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam pikiran masyarakat Jawa. Maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan di atas pagengan yaitu sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasi beraneka macam bunga-bungaan yang indah, gapura masjid pun dihiasi pula, sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung di sana.
Kemudian dimuka gapura masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya, uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertarik untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang di tabuh, artinya dibunyikan itu dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid. Akan tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di kolam masjid melalui pintu gapura. Upacara yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid melalui gapura (dari bahasa Arab Ghapura), maka berarti bahwa segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik” berbasis salaf bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal, ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika di serang pendiriannya. Maka harus didekati secara bertahap; mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.[9]
C. Jasa-jasa Sunan Kalijaga
1. Bidang strategi perjuangan
Seperti diketahui, Walisongo di dalam menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa ini tidak begitu saja melangkah, melainkan mereka menggunakan cara-cara dan jalan (taktik dan strategi) yang diperhitungkan benar-benar, memakai pertimbangan-pertimbangan yang masak, tidak ngawur sehingga agama Islam disampaikan kepada rakyat dapat diterima dengan mudah dan penuh kesadaran, bukan karena terpaksa.
Sunan Kalijaga di dalam menyebarkan ajaran Islam benar-benar memahami dan mengetahui keadaan rakyat yang masih tebal dipengaruhi kepercayaan agama Hindu Budha dan gemar menampilkan budaya-budaya Jawa yang berbau kepercayaannya itu, maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang demikian itu, sehingga taktik dan strategi perjuangan beliau disesuaikan pula dengan keadaan, ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama Syiwa Budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali apabila dalam mengembangkan agama Islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana dan melalui jalan pendekatan yang mudah ditempuh. Para wali termasuk Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali dengan kesenian dan kebudayaan mereka, misalnya gemar terhadap gamelan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa Budha.
2. Bidang kesenian
Sunan Kalijaga ternyata mampu menciptakan kesenian dengan berbagai bentuknya. Maksud utama kesenian itu diciptakan adalah sebagai alat dalam bertabligh mengelilingi berbagai daerah, ternyata malah mempunyai nilai yang berharga bagi bangsa Indonesia.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit), seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh Sunan Kalijaga (periode Demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam, sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti, di dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata “quu” dan “qilla” atau “quuqilla” yang artinya “peliharalah ucapan (mulut) mu”.[10]
Di lain pihak Sunan Kalijaga juga menciptakan karangan cerita-cerita pewayangan yang kemudian dikumpulkan dalam kitab-kitab cerita wayang yang sampai sekarang masih ada. Cerita-cerita itu masih berbentuk cerita menurut kepercayaan Jawa dengan corak kehidupannya yang ada, tetapi sudah dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak mungkin.
Cara itu dilakukan oleh Sunan Kalijaga karena adanya pertimbangan, bahwa rakyat pada saat itu masih tebal kepercayaan Hindu dan Budhanya.
3. Bidang lain-lain
Selain jasa-jasa beliau di atas tadi, masih ada jasanya yang lain seperti pendirian Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan ikut serta membangun masjid bersejarah itu. Malah ada hasil karya beliau yang sangat terkenal sampai sekarang, yaitu “Soko Total” artinya tiang pokok dalam masjid Agung Demak yang terbuat dari potongan-potongan kayu jati, lalu disatukan dalam bentuk tiang buat berdiameter kurang lebih 70 cm. ini yang membuat adalah Sunan Kalijaga.[11]
D. Peninggalan-peninggalan Sunan Kalijaga
1. Masjid Sunan Kalijaga
Di Cirebon tepatnya di desa Kalijaga telah terdapat sebuah masjid kuno, letaknya bersebelahan dengan petilasan pertapaan Sunan Kalijaga. Masjid ini oleh masyarakat Cirebon khususnya dikenal dengan nama Masjid Sunan Kalijaga.
Masjid ini tampak kelihatan angker dari luar, mungkin karena letaknya yang berada di tengah-tengah hutan yang penuh dengan ratusan binatang “kera”. Di sekeliling masjid tersebut hanya ada penduduk yang jumlahnya sedikit, jurang lebih terdiri dari sembilan rumah. Masjid ini tampak kurang berfungsi, baik untuk berjamaah shalat lima waktu maupun sebagai tempat atau pusat kegiatan penyiaran agama Islam.
2. Masjid Kadilangu
Sewaktu Sunan Kalijaga masih hidup, masjid Kadilangu itu masih berupa surau kecil. Setelah Sunan Kalijaga wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Sunan Hadi (putra ketiga) surau tersebut disempurnakan bangunannya sehingga berupa masjid seperti yang kita lihat sekarang ini.
Disebutkan di sebuah prasasti yang terdapat di pintu masjid sebelah dalam yang berbunyi “menika tiki mongso ngadekipun asjid ngadilangu hing dino ahad wage tanggal 16 sasi dzulhijjah tahun tarikh jawi 1456”, (ini waktunya berdiri masjid Kadilangu pada hari ahad wage tanggal 16 bulan dzulhijjah tahun tarikh Jawa 1456). Tulisan aslinya bertulisan huruf Arab. Menurut tutur rakyat Kadilangu masjid itu beberapa kali mengalami perbaikan di sana sini, sehingga banyak bagian bangunannya yang sudah tidak asli, terutama bagian luarnya.
3. Keris Kyai Clubuk
4. Keris Kyai Syir’an
5. Kotang Ontokusumo
Menurut beberapa cerita rakyat menyatakan bahwa dahulu waktu para Walisongo sudah selesai menunaikan shalat subuh di masjid Agung Demak, tiba-tiba terlihatlah ada sebuah bungkusan yang terletak di depan mikhrab. Maka oleh Sunan Bonang diminta supaya Sunan Kalijaga mengambil dan memeriksanya. Ternyata bungkusan tersebut berisi “baju” (kutang), dan secarik kertas yang menerangkan baju itu adalah anugerah dari Nabi Muhammad Saw, dan menerangkan supaya kulit kambing yang terdapat juga dalam bungkusan itu dibuat baju juga. Menurut cerita kedua baju itu sampai sekarang masih terawat baik, yang pertama “baju ontokusumo” yang disimpan di musium kraton Solo dan “baju kyai Gondil” ada dalam makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.[12]


III. DAFTAR PUSTAKA
Drs. Purwadi, dkk., Babad Tanah Jawi, Yogyakarta: Gelombang Pasang Surut, 2005.
Drs. H. Imron Abu Amar, Sunan Kalijaga Kadilangu Demak, Kudus: Menara Kudus, 1992.
http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm/


[1] Tentang tahun kelahiran Sunan Kalijaga (+ 1455 M) diambil dari cerita juru kunci makam Sunan kalijaga yang sekarang (keturunan Sunan Kalijaga yang ke XIV).
[2] http://www.syariah.com/walisongo.html
[3] Dr. Purwadi, dkk., Babad Tanah Jawi, Yogyakarta: Gelombang Pasang Surut, 2005, hlm. 39-41.
[4] Drs. H. Imron Abu Amar, Sunan Kalijaga Kadilangu Demak, Kudus: Menara Kudus, 1992, hlm. 10.
[5] http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm
[6] Menurut R. Prayitno, juru kunci makam Sunan Kalijaga sekarang, Sunan Kalijaga wafat kira-kira + tahun 1586. Berarti kalau dihitung-hitung umur Sunan Kalijaga + 131 tahun lamanya.
[7] Drs. H. Imran Abu Amar, op.cit., hlm. 13.
[8] http://www.syariah.com/walisongo/sunan_kalijaga.htm
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Drs. H. Imran Abu Amar, op.cit., hlm. 17-20.
[12] Ibid., hlm. 21-26.

sejarah syeh abdul kadir jaelani



Sejarah Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
Sayyidul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan Iran, selatan Laut Kaspia pada 470 H/1077 M sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab الذيل على طبق الحنابلة Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali.
Kelahiran, Silsilah dan Nasab
Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al_A’zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani Amoli. Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama.
Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A’zham r.a sebagi berikut : “Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A’zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu”.
Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut : Dari Ayahnya(Hasani) :
Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam
Dari ibunya(Husaini): Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum’i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul ‘Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala’uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal ‘Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam
Masa Muda
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi.
Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Perkataan Ulama tentang Beliau
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, “Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu.”
Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.
Tentang Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri’ lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
“Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar”, demikian kata Imam Ibnu Rajab. “Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah.”
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
Karya
Imam Ibnu Rajab juga berkata, “Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah.”
Karya karyanya  :
  1. Tafsir Al Jilani
  2. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
  3. Futuhul Ghaib.
  4. Al-Fath ar-Rabbani
  5. Jala’ al-Khawathir
  6. Sirr al-Asrar
  7. Asror Al Asror
  8. Malfuzhat
  9. Khamsata “Asyara Maktuban
  10. Ar Rasael
  11. Ad Diwaan
  12. Sholawat wal Aurod
  13. Yawaqitul Hikam
  14. Jalaa al khotir
  15. Amrul muhkam
  16. Usul as Sabaa
  17. Mukhtasar ulumuddin
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.
Ajaran-ajaranya
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, “Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi”.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Awal Kemasyhuran
Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah.
Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu ‘anhum]].
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, “Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, “kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang”. Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka”. “Sesungguhnya” kata suara tersebut, “Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu”. “Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku” tanyaku. “Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu” jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
Hubungan Guru dan Murid
Syeikh Abdul Qadir berkata, “Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.
  1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
  2. Dua karakter dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yaitu penyayang dan lembut.
  3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
  4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
  5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
  6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat zhahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Syeikh Abdul Qadir berkata, “Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.
Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M