Rabu, 03 April 2013

makalah ilmu tafsir



AGAMA UNIVERSAL
               Makalah ini disusun guna pembelajaran dan tugas mata kuliah ilmu tafsir
Semester :VA
Dosen : Drs. H. A. Taqwim,M.A




Disusun oleh:  ARIF RAHMAN (10130005)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU)
PURWOREJO
2012 / 2013





PENDAHULUAN
Agama universal tetap sama: nilai-nilai kemanusiaan. Mengapa? Manusia memiliki identitas bersama yang mutlak: sama sama binatang yang mampu berpikir, merasa, dan berkehendak. Lantas apa nilai-nilai kemanusiaan itu? Jawabannya sederhana: keadilan, solidaritas, tenggang rasa, perasaan empati,sikap toleran, dan respek terhadap yang lain, bahkan mungkin masih ada daftar yang lainnya.Kalau kita hanya berhenti pada daftar itu, konsep nilai-nilai kemanusiaan itu memang sangat abstrak. Tapi, tidak demikian kalau kita masuk ke peristiwa konkret. Ambilah contoh penyerangan Israel atas Armada Kemanusiaan Gaza beberapa waktu lalu. Tindakan Israel mendapat kecaman keras dari mana mana, tak ketinggalan agama universal hanya terbatas pada toleransi, itu saja. Selebihnya tetap, kita harus punya agama sebagian penghuni jagad kompasiana. Yang menarik, para pengecam berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, entah agama, negara-bangsa, etnis, budaya, afiliasi politik, ekonomi, atheis, agnostik, dan lain sebagainya.
Bagaimana fenomena ini bisa terjadi? Para pengecam disatukan oleh rasa empati dan solider terhadap sesama manusia yang sedang diperlakukan secara tidak manusiawi oleh Isreal. Tuntutan agar ‘para pelaku dan penyelenggara bantuan kemanusiaan’ tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang sudah menjadi norma universal bagi para pengecam yang juga adalah manusia. Padahal tidak ada konsensus sebelumnya soal itu. Tapi, ya..itu tadi, hal itu muncul tiba-tiba karena rasa dan kesadaran manusiawi. Nilai solidaritas dan empati mengalahkan afiliasi dan identitas seseorang dengan kelompok atau komunitas tertentu..Itulah spirit agama universal itu. Ini tentu saja bukan agama baru. Mengapa? Agama yang yang saya maksudkan bukan dalam perspektif konvensional. Bukan agama yang memiliki ritus, kitab suci, teologi, tradisi, organisati/lembaga tertentu. Sama sekali tidak. Apa yang disebut “Agama Universal’ itu sebetulnya hanya merupakan penamaan simbolis untuk praktek hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang menyatukan manusia, yang mendamaikan dan menyejukan hidup bersama


PEMBAHASAN

ISLAM  SEBAGAI AGAMA YANG UNIVERSAL
Islam adalah agama universal yang ajarannya ditujukan bagi umat manusia secara keseluruhan. Inti ajarannya selain memerintahkan penegakan keadilan dan eliminasi kezaliman, juga meletakan pilar-pilar perdamaian yang diiringi dengan himbauan kepada umat manusia agar hidup dalam suasana persaudaraan dan toleransi tanpa memandang perbedaan ras, suku, bangsa dan agama, karena manusia pada awalnya berasal dari asal yang sama. Firman Allah: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang sama”   (Surat an-Nisa
, ayat 1)
Melalui ajaran dan pilar tadi, Islam mendorong para pengikutnya agar bersikap tolerasi dengan pengikut agama dan bersikap positif terhadap budaya, karena Allah Swt telah menjadikan manusia sebagai khalifah yang mempunyai tanggung jawab kolektif untuk membangun bumi ini, baik secara moril maupun materil. Firman Allah:“Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi dan memberi kamu potensi untuk memakmurkan, mengembangkan dan memanfaatkan kekayaannya…. " (Hud, ayat 61).
Sebaliknya, Samuel P. Huntington dalam teori “Clash Civilization” menghimbau konflik antar suku bangsa dan negara. Ia selain mengkonfrontasikan  kebudayaan barat dengan kebudayaan lain, juga merubah konflik ekonomi dan ideologi sebagai konflik budaya, dimana konflik mendatang sangat terkait dengan konflik budaya ini, termasuk konflik keagamaan di negara Balkan, India, Pakistan, Arab dan Israel. Ini mengingatkan kita kepada imigran Eropa ke Amerika di masa lalu yang berupaya mengeleminir penduduk setempat (suku Indian) dengan pembantaian masal. Hal yang sama juga dilakukan di Australia. Pembantaian juga dilakukan bagi bangsa lain yang berbeda ras dengan imigran. Baru-baru ini di Perancis, sejumlah staf yang beragama Islam di bandara de Gaule diberhentikan tanpa alasan. Hampir 1.5 juta penduduk muslim di negeri ini yang dinyatakan penganggur dan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja hanya menerima pelamar yang berperawakan  eropah.
Sementara itu, terjadi ledakan bom di stasiun Subway, Inggeris. Sebelumnya, di Amerika terjadi serangan 11 September 2001 ke Menara Kembar (WTC), dan Markas Besar Tentara Amerika (Pentagon) dan di Indonesia ledakan bom Bali, Hotel Marriot dan ledakan bom di Poso, yang menewaskan sejumlah orang tidak berdosa.
Pelaku bom ini yang dilakukan oleh segelintir kalangan Islam yang tidak bertanggung jawab.
Teori Huntington, serangan 11 September, ledakan bom di Indonesia, Inggris dan tindakan diskriminatif di Perancis dan lainnya, telah memperburuk hubungan muslim dan non-muslim dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.
Hubungan tidak harmonis antara muslim dengan kelompok non muslim telah melahirkan sejumlah salah pengertian, opini yang keliru dan pernyataan yang berisi provokatif dan penyebar sikap kebencian dan permusuhan terhadap Islam. Islam dituduh sebagai agama teroris, mengandung ajaran membunuh orang secara membabi buta dan merupakan ancaman bagi keberlangsungan kebudayaan moderen. Ini disebabkan pencambur-adukkan antara Islam sebagai agama yang berdasar Al Qur’an dan Hadis dengan aksi segelintir orang Islam yang tidak bertanggung jawab. Dari sini, terlihat ugensi topik prinsip hubungan muslim dan non muslim dalam Islam untuk menjelaskan petunjuk Allah Swt dan UtusanNya nabi Muhammad Saw tentang hal tersebut. Bagaimana para sabahat nabi dan umat Islam dari masa ke masa menerapkan prinsip dan nilai Ilahi dalam menciptakan kehidupan yang damai di tengah-tengah masyarakat yang berbeda agama, budaya, ras suku dan bangsa.
Prinsip hubungan muslim dengan orang lain dijelaskan Allah Swt dalam Al Qur’an dan melalui UtusanNya nabi Muhammad Saw, dimana harus terjalin atas dasar nilai persamaan, toleransi, keadilan, kemerdekaan, dan persaudaraan kemanusiaan (al-ikhwah al-insaniyah). Nilai-nilai Qur’ani inilah yang direkomendasikan Islam sebagai landasan utama bagi hubungan kemanusiaan yang berlatar belakang perbedaan ras, suku bangsa, agama, bahasa dan budaya.
Sejak 14 abad yang lalu, Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Islam adalah ajaran universal dimana misi serta kebenaran ajarannya melampaui batas-batas suku, etnis, bangsa, dan bahasa.
 Oleh kareanya, tidaklah mengherankan jika berbagai seruan Al-Qur’an banyak sekali menggunakan ungkapan yang berciri kosmopolitanisme ataupun globalisme. Misalnya firman Allah yang memulai seruannya dengan ungkapan, “Wahai manusia…”. Lebih dari itu, Islam kita yakini sebagai agama penutup, maka secara instrinsik jangkauan dakwah Islam mestilah mendunia, bukannya agama suku, rasial,, dan parochial, sebagaimana agama-agama terdahulu yang hanya dialamatkan pada suatu kaum tertentu.
Secara sosiologis, baru abad ini umat Islam sadar bahwa Islam benar-baenar tertantang memasuki panggung dakwah yang berskala global,yang antara lain disebabkan oleh revolusi teknologi, informatika, dan komunikasi. Sistem informasi dibantu dengan satelit, maka planet bumi, bahkan perut bumi dapat dipotret oleh manusia dan waktu yang bersamaan, gambar dan berbagai penjelasan detailnya bisa disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Lalu, apa makna dan dampak dari proses globalisasi informasi ini bagi Islam? Satu hal yang pasti bahwa umat Islam tidak bisa hidup, berfikir, dan bertindak isolatif, tanpa mempertimbangkan situasi dan umat beragama lainnya. Kesadaran akan lingkungan sosial dari planet bumi semakin merata. Bumi ini tidak lagi bisa di klaim sebagai milik satu bangsa atau satu umat saja, melainkan milik dan tanggung jawab bersama.
Secara teologis, panggilan ini sesungguhnya bukan hal yang baru bagi umat Islam. Sejak masa Rasulullah Muhammad saw. Sampai dengan masa pertengahan, kepemimpinan umat Islam dalam memajukan peradaban manusia tidak bisa diingkari, disaat bangsa Eropa masih jauh dari ketertinggalan dibelakang. Hanya saja, faktor-faktor objektif yang bisa dikaji secara ilmiah, mengapa dunia Islam merosot perannya dalam kepemimpinan dunia dan kemudian diambil alih oleh Barat.
Jika kita ikuti beberapa jurnal, buku, dan komentar para pakar politik dan kebudayaan, setelah berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet, perhatian Barat terhadap Islam semakin meningkat baik dalam kontrol positif maupun negatif. Para pengamat politik internasional, diantara yang paling vokal adalah Samuel P. Huntington, mengatakan bahwa kini kontak yang intens antara Barat dan Islam muncul kembali dan sisa-sisa berturan masa lalu di kaji ulang.
 Namun yang pasti adanya kekhawatiran Barat terhadap dunia.Islam merupakan kenyataan yang sulit diingkari.
Jungen Meyer, misalnya dari hasil penelitiannya, yang kemudian ditulis dalam bukunya The new Cold War? (1993), menyatakan bahwa dominasi ideologi Barat yang berakar pada paham nasionalisme-sekularisme, kini mendapat tantangan dari nasionalisme-religius. Kebangkitan etnis, suku, dan paham kebangsaan yang simbiosis dengan semangat keagamaan, bisa kita saksikan dimana-mana yang hal itu tidak hanya terjadi pada umat Islam, tetapi pada umat beragama lain.
Contoh yang paling mencolok adalah gerakan Zionisme-Yahudi yang berhasil mendirikan negara Israel dimana semangat agama dan paham kebangsaan begitu menyatu. Adapun bagi Islam, khususnya Timur Tengah. Ideologi islamisme dan dinastimisme kelihatannya masih begitu kokoh. Jika di masa Rasulullah dan sahabat semangat kesukuan dan kebangsaan bisa ditekan, maka setelah itu semangat sukuisme muncul kembali dan untuk selanjutnya ideologi nasionalisme tampil lebih solid lagi.
Islam satu-satunya agama universal dan memiliki kesempurnaan di segala aspek yang dapat diaplikasikan oleh manusia dalam kehidupannya. Islam satu-satunya ideologi yang dapat menuntun manusia untuk mencari kesempurnaan yang menjadi idamannya.
 Walaupun agama Islam merupakan agama terakhir tetapi di sinilah letak keutamaan dan kesempurnaan agama ini dibandingkan dengan agama-agama lainnya, baik itu agama samawi yang turun dari Allah maupun agama atau jalan hidup yang lahir dari ide dan pengalaman spiritual seseorang.
Islam datang sebagai penyempurna bagi agama-agama yang telah datang sebelumnya. Dan Rasulullah sebagai pembawa dan pengemban risalah Ilahi merupakan nabi terakhir yang setelahnya tidak akan ada lagi Nabi dan Rasul. Allah berfirman dalam surat al-Maidah yang masyhur sebagai ayat yang terakhir turun: “Hari ini telah aku sempurnankan  bagi kamu agamamu (Islam) dan telah aku sempurnakan segala nikmatku kepadamu dan akupun ridha Islam sebagai agamamu.” (Qs. al-Maidah [5]:3)

Ayat ini menyiratkan bahwa sejak hari itu, setelah segala perintah dan hukum-hukum Allah kurang lebih selama 23 tahun lamanya secara sempurna sampai kepada Rasulullah maka tugas dan risalah Rasulullah pun berakhir. Artinya era kenabian atau nubuwah telah berakhir dan era baru telah dimulai yaitu era wilayah yang berfungsi sebagai penjaga dan penafsir syariat Rasulullah.
Ayat ini banyak dibicarakan dan dibahas oleh para mufassir dari kedua kelompok (Syiah dan Sunni), sebab ayat ini memiliki posisi yang sangat penting dan krusial dalam kelangsungan aqidah dan keyakinan, di sini kita tidak akan mengulas panjang lebar ihwal ayat ini. Bagi mereka yang menarik untuk menelaah kandungan atau asbabun nuzulnya dan bagi yang ingin tahu secara panjang lebar tentang ayat ini, kami persilahkan untuk merujuk kepada kitab-kitab tafsir atau buku yang secara terpisah dan khusus mengupas ayat ini.
 Oleh karena itu, dengan sifat kesempurnaan yang dimilki oleh Islam maka ia mampu menjawab segala tantangan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia, tidak ada suatu masalah dan problem kehidupan kecuali Islam mampu menjawab dan memberikan solusi untuknya.
Islam sebuah agama yang tidak membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lainnya, di mata Islam semua manusia adalah sama, tidak terdapat perbedaan jasmani antara satu dengan yang lainya.  Kulit putih sama dengan orang kulit hitam, orang Arab sederajat dengan non-Arab, Si kaya sama posisinya dengan si miskin, dan sebagainya. Tetapi bukan berarti Islam tidak mengenal perbedaan dan tingkatan, tetapi Islam membedakan derajat dan tingkatan seseorang bukan dari segi lahiriah dimana meninjam istilah teknis filsafat, manusia secara mahiyah atau esensial tidak memilki perbedaan, semuanya sama sebagai insan tetapi yang membedakannya adalah dari tingkat eksistensinya.
Semakin dekat ia dengan sumber wujud (Tuhan) maka semakin kuat keberadaannya atau keimanan dan ketaqwaannya.                       
Berbeda dengan agama-agama yang lainnya, dimana syiar dan kenyataannya sangat jauh berbeda. Perbedaan dan diskriminasi begitu sangat mencolok, manusia dinilai dari segi lahiriahnya,
 semakin tinggi tingkat sosialnya maka semakin mendapat tempat dan posisi dalam agama tersebut. Tempat-tempat ibadah dapat menjadi contoh yang sangat jelas tentang
hal ini. Orang kaya, pejabat dan pemuka masyarakat memilki posisi yang utama di dalam tempat-tempat ibadah dan orang miskin dan masyarakat yang memilki derajat rendah harus rela untuk menempati tempat yang sederajat dengan keadaan mereka.
 Tetapi di dalam agama Islam hal ini tidak terlihat, siapa saja bisa menempati tempat yang diinginkannya,
tidak terjadi dikotomi strata sosial.Rahasia keuniversalan dan kekekalan Islam terletak pada doktrin dan ajarannya yang sesuai dan sejalan dengan fitrah manusia, sehingga tidak terjadi kebimbangan dan keraguan bagi orang yang telah percaya dan meyakini agama tesebut, lain halnya dengan agama-agama yang lainnya, misalnya agama Kristen,  dimana doktrin dan ajaran serta keyakinan yang terdapat di dalamnya, antara satu dengan yang lainnya terdapat pertentangan sehingga tidak membuat pemeluknya tenang dan mantap, malah sebaliknya membuat mereka bimbang dan ragu dengan apa yang mereka yakini.
Keyakinan kepada Tuhan yang satu tetapi tiga atau trinitas sampai detik ini tidak mampu terjawab dengan baik dan memuaskan. Semakin dipikirkan dan direnungi bukannya menambah ketenangan dan keyakinan tetapi sebaliknya malah memunculkan keraguan dan kebimbangan.
            Sehingga yang terjadi di kalangan pemeluk kristen adalah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin
tinggi tingkat keraguan dan kebimbangan dia kepada keyakinan agama Kristen. Dan kenyataannya orang-orang yang tidak percaya dengan trinitas adalah dari golongan ilmuan dan cendekiawan.
Bukankah dalam sejarah pernah terjadi pertentangan yang sengit dan tajam antara ilmuan dan golongan gereja dimana pengikut gereja ingin mempertahankan doktrin gereja yang 
bertentangan dengan akal pikiran dan logika
Di sisi lain para ilmuan yang lebih mendahulukan akal dan logika dalam kehidupannya tidak mampu merasionalkan keyakinan dan doktrin Kristen tersebut sehingga konsekuensinya mereka menolak dan tidak menerima doktrin-doktrin tersebut.
Terjadinya pertentangan antara akal dan keimananan disebabkan oleh jauhnya keyakinan dan ajaran-ajaran kristen atau gereja dari fitrah manusia. Jika sebuah agama atau ideologi telah bertentangan dengan fitrah manusia maka sebagai konsekuensinya agama itu tidak akan kekal dan akan ditinggalkan oleh pengikutnya, sebab fitrah tidak lain perwujudan dari diri manusia itu sendiri dan telah ada sejak manusia itu diciptakan dan dia tidak akan pernah mengalami perubahan, senantiasa eksis serta memilki sifat suci, karena itu hanya padanyalah Allah mentajallikan atau mewujudkan diri-Nya, sebab terdapat kesesuaian sifat dari keduanya,  yaitu Allah memilki sifat yang eksis, kekal dan tidak pernah mengalami perubahan, demikian pula dengan fitrah atau ruh manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 172 yang terkenal dengan ayat mitsaq (pengambilan bai’at atau perjanjian).Oleh karena itu, fitrah tidak pernah salah dalam menentukan misdaq kebenaran dan tidak akan binasa dan sirna dari diri manusia, hanya saja kekuatan cahayanya bisa mengalami keredupan. Jadi hanya Islamlah satu-satunya agama yang mampu menyelamatkan dan menjawab segala problema dan dilema kehidupan manusia. ”Sesungguhnya agama yang diterima disisi Allah hanya Islam saja”. (Qs. al-Imran [3] : 19)
Oleh karena itu Islam tidak pernah bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh nabi-nabiulul azmi sebelumnya.Dan kalaupun terdapat perbedaan antara syariat nabi yang satu dengan yang lainnya maka itu hanya terletak pada masalah-masalah juz’i saja dan bukan pada inti dari ajaran itu serta itu juga tidak bermakna sebagai pembatalan terhadap syariat yang lain (sebelumnya), sebab terkadang sebuah ajaran atau syariat disesuaikan dengan kondisi yang dimiliki dan dihadapi oleh daerah atau zaman itu.
Adapun nasakh-mansukh yang berfungsi sebagai pembatalan atau bermakna tidak benarnya syariat nabi-nabi sebelumnya, hal ini tidak pernah terjadi didalam agama samawi, sebab pengatur dan pembuat undang-undang bagi manusia hanya Allah semata dan segala sesuatu yang datang dari Allah mempunyai sifat hak dan benar. Allah berfirman
dalam surah al-Ahzab ayat 4 : “Dan Allah hanya berkata yang benar dan hanya Dialah satu-satunya yang menunjuki jalan kebenaran”.(Qs. al-Ahzab [33] : 4)
Beranjak dari pemikiran prinsip illat ini, kita akan mampu membuktikan akan perennial dan universalitas agama Islam terhadap agama-agama yang lainnya sebagai berikut :
Manusia sebagaimana makhluk hidup lainnya untuk mempertahankan dirinya supaya tetap eksis maka ia harus berusaha dan bekerja keras sehingga segala harapan dan tujuan hidupnya dapat tercapai. Adapun tujuan hidup manusia sangat jauh berbeda dengan makhluk yang lainnya, karena manusia walaupun pada satu sisi memiliki persamaan dengan makhluk lainnya akan tetapi pada sisi eksistensialnya sangat jauh berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu, Tuhan pencipta memberikan dua kelebihan yaitu akal dan ruh atau fitrah kepada manusia sehingga ia dapat mewujudkan kesempurnaan dirinya. Adapun kesempurnaan atau keutamaan yang menjadi target dan tujuan manusia tidak terletak pada sesuatu yang bersifat materi seperti harta, pangkat dan jabatan, sebab semua itu akan punah dan binasa. Sedangkan fitrah (ruh) manusia memilki sifat yang kekal dan tidak akan binasa. Namun terkadang manusia menyangka bahwa semua keindahan dan kesempurnaan yang ada di dunia ini adalah sesuatu yang hakiki dan kekal dan menjadi tujuan dari hidupnya.Karena tidak adanya relevansi antara hakikat penciptaan manusia dengan segala ajaran dan aturan hidup yang ada di dalam kitab-kitab agama lainnya atau yang diajarkan oleh agama-agama lainnya maka ia tidak dapat diterima sebagai jalan untuk menyelamatkan dan mengantarkan manusia kepada kesempurnaan hidupnya.
Kendatipun manusia memiliki fitrah, namun tidak secara otomatis dia dapat mengetahui hakikat kesempurnaan dirinya dan cara dapat meraihnya.

 Hal ini disebabkan oleh banyaknya godaan, tipu daya, serta rintangan yang mengganggunya sehingga membuatnya tertipu dengan berbagai fatamorgana kebenaran. Oleh sebab itu sang pencipta yang sangat mengetahui kapasitas dan kemampuan yang dimiliki oleh manusia, tidak membiarkan manusia begitu saja didalam kebingungan dan keraguan tentang apa yang harus dia lakukan untuk meraih kesempurnaan dan kebahagian hidup, namun dengan kebesaran dan lutf-Nya Dia tetap menuntun dan mengawasinya.
Dan hal ini sesuai dengan firman-Nya: “…Tuhan Kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk. (Qs. Thaha [21]:50)      Oleh karena itu, penyempurna (mukammil) dan penuntun hakiki hanya milik Allah saja, sebab untuk terjalinnya sebuah hubungan yang erat dan selaras antara dua bagian yaitu antara pencipta kesempurnaan dan penuntun atau pembuat konstitusi sangat membutuhkan keahlian yang luar biasa, sementara yang paling mengetahui tentang hakikat antara keduanya serta kebutuhan manusia hanya sang pencipta saja, oleh karena itu kedua hal ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan.
Dan yang dimaksud dengan penyempurna dan berfungsi sebagai jalan hidayah bagi manusia tidak lain adalah agama. Yakni suatu agama yang tidak bertentangan dengan hakikat penciptaan manusia, sehingga dia dapat mengantarkan manusia kepada tujuan yang ingin diraihnya (kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki). Oleh karena itu, kita tidak akan melihat terjadinya pertentangan antara akal dan ilmu pengetahuan sebagai tempat amal shalih dengan fitrah atau ruh manusia yang menjadi tempat tajallinya sang pencipta. Maka itu dalam al-Qur’an, iman (ruh) dan amal shalih tidak pernah terpisahkan.           
Agama Islam adalah agama universal, yang sesuai dengan
segala kebenaran-Nya di seluruh alam semesta ini.
Barangkali sebagian dari umat Islam terkadang telah melupakan, atau seluruh umat manusia lainnya bahkan kurang memahami, misalnya:
·         Bahwa agama Islam adalah agama universal, yang sesuai segala kebenaran-Nya di alam semesta ini;
·         Bahwa agama Islam adalah agama yang melewati batas waktu, ruang dan konteks budaya (bisa berlaku kapanpun, dimanapun dan bagi siapapun di alam semesta ini);
·         Bahwa agama Islam adalah agama yang menyertai atau mengikuti perjalanan alam semesta ini, bahkan sampai akhir jaman.
·         Bahwa agama Islam adalah bentuk rahmat Allah bagi alam semesta ini (terutama bagi seluruh umat manusia);
·         Bahwa agama Islam adalah agama milik seluruh umat manusia di alam semesta ini (sama sekali bukan semata milik bangsa Arab ataupun umat Islam), agar sama-sama bisa kembali ke "agama atau jalan-Nya yang lurus"

Pengertian universalitas islam
Universalisme tidak langsung dinisbatkan pada islam, akan tetapi dinisbatkan pada sumber utama risalah islam, yaitu alQur’an dan kepada pembawa risalah itu sendiri, yakni nabi Muhammad itu sendiri. Penisbatan kepada AlQur’an dan nabi Muhammad saw itu mengandung pengertian bahwa sifat universal islam itu merupakan karakteristik islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
        Ada tiga penafsiran tentang universalisme islam,Yakni  :
   Pertama, universalisme islam meliputi alam semesta, dalam pengertian seluruh spesies makhluk allah swt. Pengertian ini tercermin dalam firman Rahmatan lil ‘alamin, yakni bahwa islam itu menjadi rahmat bagi alam semesta.
     Kedua ajaran islam berlaku bagi makhluk yang mukallaf, yaitu jin dan manusia. Ini tercermin dalam firman Dzikra lil ‘alamin  dan li ‘al ‘alamina nadzira  kata dzikra dan nadzira yang bermakna sebagai “peringatan atau pelajaran” menuntut bahwa ‘al alamin yang diberi peringatan adalah alam yang berakal dan mempunyai kebebasan ikhtiar ( antara iman dan kufur) serta dibebani taklifi beribadah kepada allah swt.


      Ketiga ajaran islam diperuntukkan bagi umat manusia khususnya dibelahan bumi manapun, baik ras kulit putih, hitam maupun merah.
 Indikator universalitas islam
Sesuai dengan pokok-pokok ajaran islam, maka ada tiga indikator yang membuktikan bahwa islam adalah agama universal, Yaitu : akidah, syari’ah, dan akhlak.
1). Akidah
Akidah merupakan Indikator paling asasi bgi universalisme islam, sebab sejak zaman nabi adam hingga rasulullah saw tidak ada perbedaan dalam masalah akidah, pokok dan pangkal akidah islam adalah keimanan kepada allah swt, yaitu tuhan yang maha esa yang tidak adasekutu baginya.
2). Universalisme Syari’at islam
Telah dijelaskan bahwa syari’at islam mmencapai puncak keemasan pada masa nabi Muhammad saw.  Sebagai agama universal tentu islam harus memiliki syariat yang sempurna sehingga akan sesuai dengan masyarakat manapun dan zaman manapun, sebab dalam kenyataanya syariat itulah yang menjadi bukti lahir paling pokok bagi keuniversalitas islam. Barometer untuk mengukur seorang muslim taat atau tidak dilihat dari seorang muslim mampu melaksanakan syari’at islam.
3). Akhlakul Karimah
Dalam islam aklakul karimah adalah simbol keindahan nilai universalisme akhlak karimah adalah sejalan dengan misi utama diutusnya nabi muhamad saw.kepada seluruh umat manusia untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.

Pluralisme menurut agama islam dan kristen
Islam
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman(pluralitas). Namun anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan,
dengan kata lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan yang 'kalian' (non-Islam) sembah. Pada 28 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa melarang paham pluralisme dalam agama Islam Dalam fatwa tersebut, pluralisme didefiniskan sebagai ""Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga".
Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.
Kristen    
 Dalam dunia Kristen, pluralisme agama pada beberapa dekade terakhir diprakarsai oleh John Hick. Dalam hal ini dia mengatakan bahwa menurut pandangan fenomenologis, terminologi pluralisme agama arti sederhananya ialah realitas bahwa sejarah agama-agama menunjukkan berbagai tradisi serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing agama. Dari sudut pandang filsafat, istilah ini menyoroti sebuah teori khusus mengenai hubungan antartradisi dengan berbagai klaim dan rival mereka. Istilah ini mengandung arti berupa teori bahwa agama-agama besar dunia adalah pembentuk aneka ragam persepsi yang berbeda mengenai satu puncak hakikat yang misterius.

KESIMPULAN
Islam sebagai agama yang universal, yaitu  kita harus saling bertoleransi sesama umat beragama dan kita juga harus bertakwa kepada tuhan yang telah menciptakan, kita juga  jangan memandang orang lain dari ras,agama, atau kasta semua sama dan tidak mencela dan bahkan memusuhi agam lain, bagiku agamaku bagimu agamamu, dalam masalah agama dan kepercayaan kita boleh beda tapi dalam masalah sosial dan sikap toleransi kita tetap sama dan tidak boleh membeda-bedakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar